Nury Sybli: Sosok Pahlawan Literasi Perempuan Bagi Suku Baduy

logo-18

Kabar Aksaramaya

Suku Baduy merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang masih tersisa di Indonesia saat ini. Bahkan, mungkin Suku Baduy menjadi satu-satunya suku di Indonesia yang memiliki aturan adat melarang masyarakatnya untuk sekolah secara formal. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat Nury Sybli yang seorang sosok pahlawan literasi perempuan dalam perjuangannya mengenalkan baca tulis bagi anak-anak Suku Baduy.

Suku Baduy merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang seperti halnya masyarakat adat pada umumnya. Para penduduk Suku Baduy tersebut masih sangat memegang teguh hegemoni kehidupan tradisional dan ketat terhadap pengaruh budaya lain atau dunia luar.

Tak mengherankan, jika ada beberapa situasi yang membuat penduduk Suku Baduy tidak memiliki kemampuan yang diperlukan masyarakat Indonesia pada umumnya. Seperti contohnya dalam memahami literasi, sehingga mengalami kondisi dimana kesulitan dalam berkomunikasi.

Hal tersebut kemudian juga berdampak pada pendidikan anak-anak suku Baduy, yang membuat mereka tidak ada yang mengenal huruf dan angka. Anak-anak Suku Baduy sejak dini diajarkan untuk berladang, sementara anak perempuan Suku Baduy diajari menenun. Hal tersebut tampak dari pola permainan mereka, contohnya seperti ngasek padi (menanam padi).

Tetapi itu dulu, perlahan tapi pasti, Suku Baduy perlahan mulai dapat menerima kemajuan dunia luar, selama mempunyai tujuan yang baik. Salah satunya dalam rangka meningkatkan kemampuan literasi, untuk keperluan komunikasi.

Sekilas Tentang Nury Sybli

Literasi baca tulis, tak bisa dipelajari secara mandiri. Faktanya dibutuhkan bantuan pihak luar untuk mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada masyarakat Suku Baduy, khususnya anak-anak suku Baduy. Ada satu nama yang sejak lama dikenal konsisten dalam memperjuangkan edukasi literasi bagi masyarakat suku Baduy ialah Nury Sybli. Ia seorang perempuan 38 tahunan yang istiqomah berjuang memberikan pengajaran kepada anak-anak Suku Baduy.

Hingga, membuat Nury rela bolak-balik Jakarta-Baduy demi memperkenalkan anak-anak suku Baduy Luar terhadap pentingnya membaca dan menulis. Tujuan Nury mengenalkan baca tulis kepada anak-anak Suku Baduy, bukanlah untuk mengubah tradisi. Namun, supaya mereka bisa tetap menjaga tradisi Suku Baduy, sekaligus memperluas pengetahuan dan wawasan mereka.

Nury sebetulnya adalah seseorang yang lahir di Serang, Banten. Nury memulai upayanya dalam pengajaran literasi kepada anak-anak Suku Baduy agar lebih melek terhadap aksara dimulai sejak tahun 2007.

Pada tahun 2007 Nury Sybli secara diam-diam memulai untuk membuka kelas untuk mengajari membaca dan menulis di salah satu rumah penduduk Baduy luar. Sejak saat itu hingga kini aktivitasnya dinamakan dengan Kelas Baca Baduy. Hal inilah yang mengawali kiprah Nury Sybli di bidang literasi. Sampai saat ini, wanita yang juga berprofesi sebagai Jurnalis tersebut telah melahirkan 7 rumah baca bernama Rumah Baca Akar, dan juga mengelola perpustakaan pesantren peninggalan bapaknya.

Perjuangan Mengajar Nury Sybli

Saat pertama kali mengajar, Nury menyebutkan bahwa bagaimana pertama kali ia melihat jari-jari gemetar dari anak-anak Suku Baduy dalam menggoreskan pena di buku. Selain itu, sebagian dari anak-anak Suku Baduy bahkan tidak mengetahui cara menggenggam pena atau pensil.

Faktanya juga dalam memberikan pengajaran untuk anak-anak Suku Baduy bukanlah perkara yang gampang. Nury sampai harus melakukan berbagai macam metode pendekatan untuk bisa dekat dengan anak-anak suku Baduy. Nury juga melakukan banyak hal lain, mulai dari mengikuti cara bicara anak-anak Suku Baduy, cara makan, sampai cara berpakaian yang serupa seperti masyarakat adat tersebut.

Selain itu yang membuat perjuangan pahlawan literasi perempuan tersebut spesial adalah proses pembelajaran baca tulis yang dilakukan berlangsung pada malam hari dengan bekal pencahayaan yang minim. Hal tersebut terpaksa dilakukan, karena cuma waktu malam hari yang memungkinkan bagi anak-anak Suku Baduy untuk mengikuti kelas baca.

Alasan mengapa anak-anak Suku Baduy bisa menyempatkan belajar baca tulis pada malam hari, karena pasalnya mereka harus membantu orang tua mereka bekerja dari pagi sampai petang. Lain itu juga tenaga listrik yang belum memadai di pemukiman Suku Baduy menjadi kendala pula. Namun hal tersebut tidak menggoyahkan semangat belajar mengajar yang dilakukan oleh Nury.

Lebih detailnya, Nury sudah sering berkunjung ke pemukiman masyarakat Suku Baduy sejak tahun 1997. Menurut Nury, sebetulnya masyarakat Suku Baduy sendiri memiliki keingintahuan yang sangat besar akan dunia pendidikan.

Menetapkan metode pengajaran yang berbeda untuk diajarkan kepada anak-anak Suku Baduy. Tak disangka mendapatkan respons yang amat positif dari para anak-anak Suku Baduy. Mereka juga sudah mulai dapat berkomunikasi dengan baik, bahkan dalam beberapa kesempatan bisa menggunakan bahasa Inggris sederhana, sehingga sedikit demi sedikit taraf hidup Suku Baduy mulai meningkat.

Berkat perjuangan pahlawan literasi perempuan tersebut, kini sebagian besar generasi penerus Suku Baduy tak lagi buta huruf. Hal yang mengagumkan, seiring berjalannya waktu, saat kini pengajaran yang dilakukan oleh Nury pun terus mengalir turun temurun dari generasi tertua ke muda.

Daerah Anda ingin mengembangkan budaya literasi melalui platform teknologi perpustakaan digital? Hubungi partnership@aksaramaya.com atau 0859106725577

Salam literasi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *